Jumat, 12 Juli 2013

ALKISAH SITI FATIMAH AZ-ZAHRA AS, PENGHULU WANITA SEMESTA




Dahulu kala, masyarakat memandang perempuan bagaikan hewan atau bagian dari kekayaan yang dimiliki oleh seorang laki-laki. Demikian pula masyarakat Arab pada masa Jahiliyah. Mereka senantiasa memandang wanita sebagai makhluk yang hina. Bahkan, sebagian di antara mereka ada yang menguburkan anak perempuan mereka hidup-hidup.
Ketika fajar mentari Islam terbit, Islam memberikan hak kepada kaum hawa dan telah menentukan pula batas-batasnya, seperti hak sebagai ibu, hak sebagai istri, dan hak sebagai pemudi. hadis Nabi saw yang menyatakan, “Surga itu terletak di bawah kaki ibu.” Dan beliau bersabda, "Kerelaan Allah terletak pada kerelaan orang tua." (Dan perempuan termasuk salah satu dari orang tua). Islam telah memberikan batasan kemanusiaan kepada wanita dan memberikan aturan, undang-undang yang menjamin perlindungan, penjagaan terhadap kemuliaan wanita dan kehormatannya.
Sebagai contoh yang jelas ialah hijab atau jilbab. Jilbab bukanlah penjara bagi wanita, tapi ia merupakan kebanggaan baginya, sebagaimana kita selalu melihat permata yang tersimpan rapi di dalam kotaknya, atau buah-buahan yang tersembunyi di balik kulitnya. Sedangkan bagi wanita muslimah, Allah SWT telah memberikan aturan yang dapat melindunginya dan menjaga diriya, yaitu jilbab. Bahkan tidak hanya sekedar pelindung, jilbab dapat menambah ketenangan dan keindahan pada diri wanita tersebut.
Wanita dalam pandangan Islam berbeda secara mencolok dari apa yang terjadi di Barat. Dunia Barat memandang wanita laksana benda atau materi yang layak untuk diiklankan, diperdagangkan, dan bisa diambil keuntungan materinya, dengan dalih memelihara etika dan kemuliaan wanita sebagai manusia. Pandangan ini benar-benar telah membuat nilai wanita terpuruk dan terpisah dari naluri serta nilai-nilai kemanusiaan.
Kita juga menyaksikan keretakan keluarga, perceraian yang terjadi di dalam masyarakat Barat telah sedemikian mengkuatirkan. inilah  sosok teladan kaum wanita dalam Islam yang terwujud dalam kehidupan putri Rasulullah tercinta. Dialah Siti Fatimah Az-Zahra as. Putri tersayang Nabi Muhammad saw. Istri tercinta Imam Ali as. Bunda termulia Hasan, Husain, dan Zainab as. Hari Lahir Fatimah as dilahirkan pada tahun ke-5 setelah Muhammad saw diutus menjadi Nabi, bertepatan dengan tiga tahun setelah peristiwa Isra' dan Mikraj beliau.
Sebelumnya, Jibril as telah memberi kabar gembira kepada Rasulullah akan kelahiran Fatimah. Ia lahir pada hari Jumat, 20 Jumadil Akhir, di kota suci Makkah.
Fatimah di Rumah Wahyu Fatimah as hidup dan tumbuh besar di haribaan wahyu Allah dan kenabian Muhammad saw. Beliau dibesarkan di dalam rumah yang penuh dengan kalimat-kalimat kudus Allah SWT dan ayat-ayat suci Al-Qur'an.Rasulullah saw melihat Fatimah masuk ke dalam rumahnya, beliau langsung menyambut dan berdiri, kemudian mencium kepala dan tangannya.
Fatimah Az-Zahra’ as menyerupai ayahnya Muhammad saw dari sisi rupa dan akhlaknya.
Ummu Salamah ra, istri Rasulullah, menyatakan bahwa Fatimah adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah. Demikian juga ‘Aisyah. Ia pernah menyatakan bahwa Fatimah adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah dalam ucapan dan pikirannya. Fatimah as mencintai ayahandanya melebihi cintanya kepada siapa pun.
Setelah ibunda kinasihnya, Khadijah as wafat, beliaulah yang merawat ayahnya ketika masih berusia enam tahun. Beliau senantiasa berusaha untuk menggantikan peranan ibundanya bagi ayahnya itu. Pada usianya yang masih belia itu, Fatimah menyertai ayahnya dalam berbagai cobaan dan ujian yang dilancarkan oleh orang-orang musyrikin Makkah terhadapnya. Dialah yang membalut luka-luka sang ayah, dan yang membersihkan kotoran-kotoran yang dilemparkan oleh orang-orang Quraisy ke arah ayahanda tercinta.
Fatimah senantiasa mengajak bicara sang ayah dengan kata-kata dan obrolan yang dapat menggembirakan dan menyenangkan hatinya. Untuk itu, Rasulullah saw memanggilnya dengan julukan Ummu Abiha, yaitu ibu bagi ayahnya, karena kasih sayangnya yang sedemikian tercurah kepada ayahandanya.
Pernikahan Fatimah as
Setelah Fatimah as mencapai usia dewasa dan tiba pula saatnya untuk beranjak pindah ke rumah suaminya (menikah), banyak dari sahabat-sahabat yang berupaya meminangnya. Di antara mereka adalah Abu Bakar dan Umar. Rasulullah saw menolak semua pinangan mereka. Kepada mereka beliau mengatakan, “Saya menunggu keputusan wahyu dalam urusannya (Fatimah as).”
Kemudian, Jibril as datang untuk mengkabarkan kepada Rasulullah saw, bahwa Allah telah menikahkan Fatimah dengan Ali bin Ali Thalib as. Tak lama setelah itu, Ali as datang menghadap Rasulullah dengan perasaan malu menyelimuti wajahnya untuk meminang Fatimah as. Sang ayah pun menghampiri putri tercintanya untuk meminta pendapatnya seraya menyatakan, “Wahai Fatimah, Ali bin Abi Thalib adalah orang yang telah kau kenali kekerabatan, keutamaan, dan keimanannya. Sesungguhnya aku telah memohonkan pada Tuhanku agar menjodohkan engkau dengan sebaik-baik mahkluk-Nya dan seorang pecinta sejati-Nya.
Pada tahun ke-2 Hijriah, Fatimah as melahirkan putra pertamanya yang oleh Rasulullah saw diberi nama “Hasan”. Rasul saw sangat gembira sekali atas kelahiran cucunda ini. Beliau pun menyuarakan azan pada telinga kanan Hasan dan iqamah pada telinga kirinya, kemudian dihiburnya dengan ayat-ayat Al-Qur'an.
Setahun kemudian lahirlah Husain. Demikianlah Allah SWT berkehendak menjadikan keturunan Rasulullah saw dari Fatimah Az-Zahra as. Rasul mengasuh kedua cucunya dengan penuh kasih dan perhatian. Tentang keduanya beliau senantiasa mengenalkan mereka sebagai buah hatinya di dunia.
Bila Rasulullah saw keluar rumah, beliau selalu membawa mereka bersamanya. Beliau pun selalu mendudukkan mereka berdua di haribaannya dengan penuh kehangatan.Suatu hari Rasul saw lewat di depan rumah Fatimah as. Tiba-tiba beliau mendengar tangisan Husain. Kemudian Nabi dengan hati yang pilu dan sedih mengatakan, “Tidakkah kalian tahu bahwa tangisnya menyedihkanku dan menyakiti hatiku.”
Satu tahun berselang, Fatimah as melahirkan Zainab. Setelah itu, Ummu Kultsum pun lahir. Sepertinya Rasul saw teringat akan kedua putrinya Zainab dan Ummu Kultsum ketika menamai kedua putri Fatimah as itu dengan nama-nama tersebut. Dan begitulah Allah SWT menghendaki keturunan Rasul saw berasal dari putrinya Fatimah Zahra as.
Kedudukan Fatimah Az-Zahra’ as
Meskipun kehidupan beliau sangat singkat, tetapi beliau telah membawa kebaikan dan berkah bagi alam semesta. Beliau adalah panutan dan cermin bagi segenap kaum wanita. Beliau adalah pemudi teladan, istri tauladan dan figur yang paripurna bagi seorang wanita. Dengan keutamaan dan kesempurnaan yang dimiliki ini, beliau dikenal sebagai “Sayyidatu Nisa’il Alamin”; yakni Penghulu Wanita Alam Semesta.
Bila Maryam binti ‘Imran, Asiyah istri Firaun, dan Khadijah binti Khuwalid, mereka semua adalah penghulu kaum wanita pada zamannya, tetapi Sayidah Fatimah as adalah penghulu kaum wanita di sepanjang zaman, mulai dari wanita pertama hingga wanita akhir zaman. Beliau adalah panutan dan suri teladan dalam segala hal. Di kala masih gadis, ia senantiasa menyertai sang ayah dan ikut serta merasakan kepedihannya. Pada saat menjadi istri Ali as, beliau selalu merawat dan melayani suaminya, serta menyelesaikan segala urusan rumah tangganya, hingga suaminya merasa tentram bahagia di dalamnya.
Demikian pula ketika beliau menjadi seorang ibu. Beliau mendidik anak-anaknya sedemikian rupa atas dasar cinta, kebaikan, keutamaan, dan akhlak yang luhur dan mulia. Hasan, Husain, dan Zainab as adalah anak-anak teladan yang tinggi akhlak dan kemanusiaan mereka.
Kepergian Sang Ayah
Sekembalinya dari Haji Wada‘, Rasulullah saw jatuh sakit, bahkan beliau sempat pingsan akibat panas dan demam keras yang menimpanya. Fatimah as bergegas menghampiri beliau dan berusaha untuk memulihkan kondisinya. Dengan air mata yang luruh berderai, Fatimah berharap agar sang maut memilih dirinya dan merenggut nyawanya sebagai tebusan jiwa ayahandanya.
Tidak lama kemudian Rasul saw membuka kedua matanya dan mulai memandang putri semata wayang itu dengan penuh perhatian. Lantas beliau meminta kepadanya untuk membacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Fatimah pun segera membacakan Al-Qur'an dengan suara yang khusyuk.
Sementara sang ayah hayut dalam kekhusukan mendengarkan kalimat-kalimat suci Al-Qur'an, Fatimah pun memenuhi suasana rumah Nabi. Beliau ingin menghabiskan detik-detik akhir hayatnya dalam keadaan mendengarkan suara putrinya yang telah menjaganya dari usia yang masih kecil dan berada di samping ayahnya di saat dewasa.
Rasul saw meninggalkan dunia dan ruhnya yang suci mi’raj ke langit.
Kepergian Rasul saw merupakan musibah yang sangat besar bagi putrinya, sampai hatinya tidak kuasa memikul besarnya beban musibah tersebut. Siang dan malam, beliau selalu menangis. Fatimah as mendapat pukulan yang lebih berat lagi dari para sahabat yang berebut kekuasaan dan kedudukan. Setelah mereka merampas tanah Fadak dan berpura-pura bodoh terhadap hak suaminya dalam perkara khilafah (kepemimpinan), Fatimah Az-Zahra’ as berupaya untuk mempertahankan haknya dan merebutnya dengan keberanian yang luar biasa.
Imam Ali as melihat bahwa perlawanan terhadap khalifah yang dilakukan Sayidah Fatimah as secara terus menerus bisa menyebabkan negara terancam bahaya besar, hingga dengan begitu seluruh perjuangan Rasul saw akan sirna, dan manusia akan kembali ke dalam masa Jahiliyah. Ali as meminta istrinya yang mulia untuk menahan diri dan bersabar demi menjaga risalah Islam yang suci.
Akhirnya, Sayidah Fatimah as pun berdiam diri dengan menyimpan kemarahan dan mengingatkan kaum muslimin akan sabda Nabi, “Kemarahannya adalah kemarahan Rasulullah, dan kemarahan Rasulullah adalah kemarahan Allah SWT.” Sayidah Fatimah as diam dan bersabar diri hingga beliau wafat. Bahkan beliau berwasiat agar dikuburkan di tengah malam secara rahasia.
Kepergian Putri Tercinta Rasul
Bagaikan cahaya lilin yang menyala kemudian perlahan-lahan meredup. Demikianlah ihwal Fatimah Az-Zahra’ as sepeninggal Rasul saw. Ia tidak kuasa lagi hidup lama setelah ditinggal wafat oleh sang ayah tercinta. Kesedihan senantiasa muncul setiap kali azan dikumandangkan, terlebih ketika sampai pada kalimat Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah.
Kerinduan Sayidah Fatimah untuk segera bertemu dengan sang ayah semakin menyesakkan dadanya. Bahkan kian lama, kesedihannya pun makin bertambah. Badannya terasa lemah, tidak lagi sanggup menahan renjana jiwanya kepada ayah tercinta.Demikianlah keadaan Sayidah Fatimah as saat meninggalkan dunia. Beliau tinggalkan Hasan yang masih 7 tahun, Husain yang masih 6 tahun, Zainab yang masih 5 tahun, dan Ummi Kultsum yang baru saja memasuki usia 3 tahun. Yang paling berat dalam perpisahan ini, ia harus meninggalkan suami termulia, Ali as, pelindung ayahnya dalam jihad dan teman hidupnya di segala medan.
Sayidah Fatimah as memejamkan mata untuk selamanya setelah berwasiatkan kepada suaminya akan anak-anaknya yang masih kecil. Beliau pun mewasiatkan kepada sang suami agar menguburkannya secara rahasia. Hingga sekarang pun makam suci beliau masih misterius. Dengan demikian terukirlah tanda tanya besar dalam sejarah tentang dirinya. Fatimah Az-Zahra’ as senantiasa memberikan catatan kepada sejarah akan penuntutan beliau atas hak-haknya yang telah dirampas. Sehingga umat Islam pun kian bertanya-tanya terhadap rahasia dan kemisterian kuburan beliau.
Dengan penuh kesedihan, Imam Ali as duduk di samping kuburannya, diiringi kegelapan yang menyelimuti angkasa. Kemudian Imam as mengucapkan salam, “Salam sejahtera bagimu duhai Rasulullah ... dariku dan dari putrimu yang kini berada di sampingmu dan yang paling cepat datang menjumpaimu.
"Duhai Rasulullah! Telah berkurang kesabaranku atas kepergian putrimu, dan telah berkurang pula kekuatanku ... Putrimu akan mengabarkan kepadamu akan umatmu yang telah menghancurkan hidupnya. Pertanyaan yang meliputinya dan keadaan yang akan menjawab. Salam sejahtera untuk kalian berdua!”
Riwayat Singkat Sayidah Fatimah as
Nama        : Fatimah.
Julukan    : Az-Zahra’, Al-Batul, At-Thahirah.
Ayah         : Muhammad.
Ibu            : Khadijah binti Khuwailid.
Kelahiran : Jumat 20 Jummadil Akhir.
Tempat     : Makkah Al-Mukarramah.
Wafat       : MadinahAl-Munawarah, Tahun 11 H.
Makam    : Tidak diketahui.
Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita yang solehah
Kisah Cinta Sayyidina Ali dengan Siti Fatimah Azzahra
Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta.
Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah.
 Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.
‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.
”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.
Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:
“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4).
KISAH SITI FATIMAH AZ ZAHRA
Rasulullah SAW bersabda: "Fatimah adalah sebahagian daripadaku. Barangsiapa yang membuat dia marah, akan membuat aku marah." Hadis Riwayat Bukhari
Lahirnya Siti Fatimah Az Zahra r.a merupakan rahmat yang telah dilimpahkan Ilahi kepada Nabi Muhammad SAW. Ia telah menjadi wadah suatu keturunan yang suci. Ia laksana benih yang akan menumbuhkan pohon besar penyambung keturunan Rasulullah SAW. Ia satu-satunya yang menjadi sumber keturunan paling mulia yang dikenali umat Islam di seluruh dunia. Siti Fatimah Az Zahra r.a dilahirkan di Makkah, pada hari Jumaat, 20 Jamadil Akhir, lebih kurang lima tahun sebelum Rasulullah SAW di angkat menjadi Rasul.
Siti Fatimah Az Zahra r.a membesar di bawah naungan wahyu Ilahi, di tengah kancah pertarungan sengit antara Islam dan jahiliyah, di kala sedang hebatnya perjuangan para perintis iman melawan penyembah berhala.
Ketika masih kanak-kanak, Siti Fatimah Az Zahra r.a sudah mengalami penderitaan, merasakan kehausan dan kelaparan. Dia berkenalan dengan pahit getirnya perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan. Lebih dari tiga tahun, dia bersama ayah bondanya hidup menderita dibuang daerah akibat pemboikotan orang-orang kafir Quraisy terhadap keluarga Bani Hasyim.
Setelah bebas penderitaan setelah 3 tahun diboikot, datang pula ujian berat atas diri Siti Fatimah Az Zahra r.a, apabila wafatnya bonda tercinta, Siti Khadijah r.a. Perasaan sedih selalu sahaja menyelubingi hidup sehari-harinya dengan putusnya sumber kecintaan dan kasih sayang ibu.
Rasulullah SAW sangat mencintai puterinya ini. Siti Fatimah Az Zahra r.a adalah puteri bongsu yang paling disayang dan dikasihani junjungan kita Rasulullah SAW. Nabi Muhammad SAW merasa tidak ada seorang pun di dunia, yang paling berkenan di hati baginda dan yang paling dekat di sisinya selain puteri bungsunya itu.
Demikian besar rasa cinta Rasulullah SAW kepada puteri bongsunya itu dibuktikan dengan Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Menurut Hadis tersebut, Rasulullah SAW berkata kepada Sayyidina Ali r.a demikian:
“Wahai Ali, sesungguhnya Fatimah adalah bahagian dari aku. Dia adalah cahaya mataku dan buah hatiku. Barang siapa menyusahkan dia, ia menyusahkan aku, dan siapa yang menyenangkan dia, ia menyenangkan aku…”
Ketika masih kanak-kanak, Siti Fatimah Az Zahra r.a menyaksikan sendiri ujian-uijian getir yang dialami oleh ayah bundanya, baik berupa gangguan-gangguan, mahupun penganiayaan-penganiayaan yang dilakukan orang-orang kafir Quraisy. Siti Fatimah hidup di udara Makkah yang penuh dengan debu perlawanan orang-orang kafir terhadap keluarga Nubuwah, keluarga yang menjadi pusat iman, hidayah dan keutamaan.
Dia menyaksikan keteguhan dan ketegasan orang-orang mukmin dalam perjuangan gagah berani menghadapi komplot-komplot Quraisy. Suasana perjuangan itu membekas sedalam-dalamnya pada jiwa Siti Fatimah Az Zahra r.a dan memainkan peranan penting dalam pembentukan peribadinya, serta mempersiapkan kekuatan rohaniah bagi menghadapi kesukaran-kesukaran di masa depan.
Setelah ibunya wafat, Siti Fatimah Az Zahra r.a hidup bersama ayahandanyaa. Satu-satunya orang yang paling dicintai. Dialah yang meringankan penderitaan Rasulullah SAW ketika ditinggal wafat isteri baginda, Siti Khadijah. Pada suatu hari Siti Fatimah Az Zahra r.a menyaksikan ayahnya pulang dengan kepala dan tubuh penuh pasir, yang baru saja dilemparkan oleh orang-orang Quraisy, di saat ayahandanya sedang sujud.
Dengan hati remuk-redam laksana disayat sembilu, Siti Fatimah r.a segera membersihkan kepala dan tubuh ayahandanya. Kemudian diambilnya air untuk mencucinya. Dia menangis tersedu-sedu menyaksikan kekejaman orang-orang Quraisy terhadap ayahnya.
Kesedihan hati puterinya itu dirasakan benar oleh Nabi Muhammad SAW. Untuk menguatkan hati puterinya dan meringankan rasa sedihnya, maka Nabi Muhammad SAW sambil membelai-belai kepala puteri bungsunya itu, berkata, “Jangan menangis…, Allah melindungi ayahmu dan akan memenangkannya dari musuh-musuh agama dan risalah-Nya.”
Dengan tutur kata penuh semangat itu, Rasulullah SAW menanamkan daya juang yang tinggi ke dalam jiwa Siti Fatimah r.a dan sekaligus mengisinya dengan kesabaran, ketabahan serta kepercayaan bahawa Islam akan menang. Meskipun orang-orang sesat dan derhaka seperti kafir Quraisy itu sentiasa mengganggu dan melakukan penganiayaan-penganiayaan, namun Nabi Muhammad SAW tetap melaksanakan tugas risalahnya.
Sepeninggal Rasulullah saw Siti Fathimah benar-benar sedih, beliau sangat  terpukul dengan kemangkatan ayahnya itu . Orang yang paling ia cintai, orang yang selalu menjenguknya dan membimbingnya serta membantu memecahkan masalah apabila ada sesuatu yang terjadi.
           Hal-hal itulah yang membuat Siti Fathimah selalu dirundung kesedihan. Untung masih ada Imam Ali, sang suami yang selalu menghibur dan menjaganya serta putra-putranya yang menjadi hiburan baginya. Namun semua itu tidak dapat menghilangkan kesedihan yang ada padanya, sehingga diterangkan oleh para Ahli Sejarah, bahwa sejak meninggalnya Rasulullah saw, Siti Fathimah tidak pernah tertawa dan hanya sekali beliau gembira tertawa, yaitu disaat Asma' binti Umais membuatkan keranda untuk beliau.
           Asma' binti Umais adalah orang yang selalu membantu Siti Fathimah. Mereka seperti kakak beradik. Asma' binti Umais adalah istri Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq dan dari perkawinan ini lahirlah Muhammad bin Abu Bakar.
          Perkawinan tersebut atas perintah Rasulullah saw. Hal itu terjadi setelah suaminya yang pertama yaitu Ja'far bin Abi Thalib meninggal dalam peperangan. Beliau Asma' termasuk orang-orang yang masuk Islam pada awal permulaan Islam di Mekkah sebelum Muslimin berkumpul di Dar'ul Arqom dan beliau kemudian bersama suaminya Ja'far bin Abi Thalib hijrah ke Habasyah.
          Setelah Khalifah Abu Bakar wafat, Asma' binti Umais kawin dengan Imam Ali kw dan dikaruniai oleh Allah dua putra yaitu Yahya dan Muhammad Al Ashhor. Ummul Mu'minin Maimunah istri Rasulullah saw adalah saudara seibu dengan Asma' binti Umais. Oleh karena itu, hubungan Asma' binti Umais dengan keluarga Rasulullah saw sangat dekat sekali. Beliau sering membantu keluarga Rasulullah saw. Semoga Allah membalasnya serta meridhainya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar