Dahulu
kala, masyarakat memandang perempuan bagaikan hewan atau bagian dari kekayaan
yang dimiliki oleh seorang laki-laki. Demikian pula masyarakat Arab pada masa
Jahiliyah. Mereka senantiasa memandang wanita sebagai makhluk yang hina.
Bahkan, sebagian di antara mereka ada yang menguburkan anak perempuan mereka
hidup-hidup.
Ketika
fajar mentari Islam terbit, Islam memberikan hak kepada kaum hawa dan telah
menentukan pula batas-batasnya, seperti hak sebagai ibu, hak sebagai istri, dan
hak sebagai pemudi. hadis Nabi saw yang menyatakan, “Surga itu terletak di
bawah kaki ibu.” Dan beliau bersabda, "Kerelaan Allah terletak pada
kerelaan orang tua." (Dan perempuan termasuk salah satu dari orang tua). Islam
telah memberikan batasan kemanusiaan kepada wanita dan memberikan aturan,
undang-undang yang menjamin perlindungan, penjagaan terhadap kemuliaan wanita
dan kehormatannya.
Sebagai
contoh yang jelas ialah hijab atau jilbab. Jilbab bukanlah penjara bagi wanita,
tapi ia merupakan kebanggaan baginya, sebagaimana kita selalu melihat permata
yang tersimpan rapi di dalam kotaknya, atau buah-buahan yang tersembunyi di
balik kulitnya. Sedangkan bagi wanita muslimah, Allah SWT telah memberikan
aturan yang dapat melindunginya dan menjaga diriya, yaitu jilbab. Bahkan tidak
hanya sekedar pelindung, jilbab dapat menambah ketenangan dan keindahan pada
diri wanita tersebut.
Wanita
dalam pandangan Islam berbeda secara mencolok dari apa yang terjadi di Barat.
Dunia Barat memandang wanita laksana benda atau materi yang layak untuk
diiklankan, diperdagangkan, dan bisa diambil keuntungan materinya, dengan dalih
memelihara etika dan kemuliaan wanita sebagai manusia. Pandangan ini
benar-benar telah membuat nilai wanita terpuruk dan terpisah dari naluri serta
nilai-nilai kemanusiaan.
Kita
juga menyaksikan keretakan keluarga, perceraian yang terjadi di dalam
masyarakat Barat telah sedemikian mengkuatirkan. inilah sosok teladan kaum wanita dalam Islam yang
terwujud dalam kehidupan putri Rasulullah tercinta. Dialah Siti Fatimah
Az-Zahra as. Putri tersayang Nabi Muhammad saw. Istri tercinta Imam Ali as.
Bunda termulia Hasan, Husain, dan Zainab as. Hari Lahir Fatimah as dilahirkan
pada tahun ke-5 setelah Muhammad saw diutus menjadi Nabi, bertepatan dengan
tiga tahun setelah peristiwa Isra' dan Mikraj beliau.
Sebelumnya,
Jibril as telah memberi kabar gembira kepada Rasulullah akan kelahiran Fatimah.
Ia lahir pada hari Jumat, 20 Jumadil Akhir, di kota suci Makkah.
Fatimah
di Rumah Wahyu Fatimah as hidup dan tumbuh besar di haribaan wahyu Allah dan
kenabian Muhammad saw. Beliau dibesarkan di dalam rumah yang penuh dengan
kalimat-kalimat kudus Allah SWT dan ayat-ayat suci Al-Qur'an.Rasulullah saw
melihat Fatimah masuk ke dalam rumahnya, beliau langsung menyambut dan berdiri,
kemudian mencium kepala dan tangannya.
Fatimah
Az-Zahra’ as menyerupai ayahnya Muhammad saw dari sisi rupa dan akhlaknya.
Ummu
Salamah ra, istri Rasulullah, menyatakan bahwa Fatimah adalah orang yang paling
mirip dengan Rasulullah. Demikian juga ‘Aisyah. Ia pernah menyatakan bahwa
Fatimah adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah dalam ucapan dan
pikirannya. Fatimah as mencintai ayahandanya melebihi cintanya kepada siapa
pun.
Setelah
ibunda kinasihnya, Khadijah as wafat, beliaulah yang merawat ayahnya ketika
masih berusia enam tahun. Beliau senantiasa berusaha untuk menggantikan peranan
ibundanya bagi ayahnya itu. Pada usianya yang masih belia itu, Fatimah
menyertai ayahnya dalam berbagai cobaan dan ujian yang dilancarkan oleh
orang-orang musyrikin Makkah terhadapnya. Dialah yang membalut luka-luka sang
ayah, dan yang membersihkan kotoran-kotoran yang dilemparkan oleh orang-orang
Quraisy ke arah ayahanda tercinta.
Fatimah
senantiasa mengajak bicara sang ayah dengan kata-kata dan obrolan yang dapat
menggembirakan dan menyenangkan hatinya. Untuk itu, Rasulullah saw memanggilnya
dengan julukan Ummu Abiha, yaitu ibu bagi ayahnya, karena kasih sayangnya yang
sedemikian tercurah kepada ayahandanya.
Pernikahan
Fatimah as
Setelah
Fatimah as mencapai usia dewasa dan tiba pula saatnya untuk beranjak pindah ke
rumah suaminya (menikah), banyak dari sahabat-sahabat yang berupaya
meminangnya. Di antara mereka adalah Abu Bakar dan Umar. Rasulullah saw menolak
semua pinangan mereka. Kepada mereka beliau mengatakan, “Saya menunggu
keputusan wahyu dalam urusannya (Fatimah as).”
Kemudian,
Jibril as datang untuk mengkabarkan kepada Rasulullah saw, bahwa Allah telah
menikahkan Fatimah dengan Ali bin Ali Thalib as. Tak lama setelah itu, Ali as datang
menghadap Rasulullah dengan perasaan malu menyelimuti wajahnya untuk meminang
Fatimah as. Sang ayah pun menghampiri putri tercintanya untuk meminta
pendapatnya seraya menyatakan, “Wahai Fatimah, Ali bin Abi Thalib adalah orang
yang telah kau kenali kekerabatan, keutamaan, dan keimanannya. Sesungguhnya aku
telah memohonkan pada Tuhanku agar menjodohkan engkau dengan sebaik-baik
mahkluk-Nya dan seorang pecinta sejati-Nya.
Pada
tahun ke-2 Hijriah, Fatimah as melahirkan putra pertamanya yang oleh Rasulullah
saw diberi nama “Hasan”. Rasul saw sangat gembira sekali atas kelahiran cucunda
ini. Beliau pun menyuarakan azan pada telinga kanan Hasan dan iqamah pada
telinga kirinya, kemudian dihiburnya dengan ayat-ayat Al-Qur'an.
Setahun
kemudian lahirlah Husain. Demikianlah Allah SWT berkehendak menjadikan
keturunan Rasulullah saw dari Fatimah Az-Zahra as. Rasul mengasuh kedua cucunya
dengan penuh kasih dan perhatian. Tentang keduanya beliau senantiasa
mengenalkan mereka sebagai buah hatinya di dunia.
Bila
Rasulullah saw keluar rumah, beliau selalu membawa mereka bersamanya. Beliau
pun selalu mendudukkan mereka berdua di haribaannya dengan penuh
kehangatan.Suatu hari Rasul saw lewat di depan rumah Fatimah as. Tiba-tiba
beliau mendengar tangisan Husain. Kemudian Nabi dengan hati yang pilu dan sedih
mengatakan, “Tidakkah kalian tahu bahwa tangisnya menyedihkanku dan menyakiti
hatiku.”
Satu
tahun berselang, Fatimah as melahirkan Zainab. Setelah itu, Ummu Kultsum pun
lahir. Sepertinya Rasul saw teringat akan kedua putrinya Zainab dan Ummu
Kultsum ketika menamai kedua putri Fatimah as itu dengan nama-nama tersebut. Dan
begitulah Allah SWT menghendaki keturunan Rasul saw berasal dari putrinya
Fatimah Zahra as.
Kedudukan
Fatimah Az-Zahra’ as
Meskipun
kehidupan beliau sangat singkat, tetapi beliau telah membawa kebaikan dan
berkah bagi alam semesta. Beliau adalah panutan dan cermin bagi segenap kaum
wanita. Beliau adalah pemudi teladan, istri tauladan dan figur yang paripurna
bagi seorang wanita. Dengan keutamaan dan kesempurnaan yang dimiliki ini,
beliau dikenal sebagai “Sayyidatu Nisa’il Alamin”; yakni Penghulu Wanita Alam
Semesta.
Bila
Maryam binti ‘Imran, Asiyah istri Firaun, dan Khadijah binti Khuwalid, mereka
semua adalah penghulu kaum wanita pada zamannya, tetapi Sayidah Fatimah as
adalah penghulu kaum wanita di sepanjang zaman, mulai dari wanita pertama
hingga wanita akhir zaman. Beliau adalah panutan dan suri teladan dalam segala
hal. Di kala masih gadis, ia senantiasa menyertai sang ayah dan ikut serta
merasakan kepedihannya. Pada saat menjadi istri Ali as, beliau selalu merawat
dan melayani suaminya, serta menyelesaikan segala urusan rumah tangganya,
hingga suaminya merasa tentram bahagia di dalamnya.
Demikian
pula ketika beliau menjadi seorang ibu. Beliau mendidik anak-anaknya sedemikian
rupa atas dasar cinta, kebaikan, keutamaan, dan akhlak yang luhur dan mulia.
Hasan, Husain, dan Zainab as adalah anak-anak teladan yang tinggi akhlak dan
kemanusiaan mereka.
Kepergian
Sang Ayah
Sekembalinya
dari Haji Wada‘, Rasulullah saw jatuh sakit, bahkan beliau sempat pingsan
akibat panas dan demam keras yang menimpanya. Fatimah as bergegas menghampiri
beliau dan berusaha untuk memulihkan kondisinya. Dengan air mata yang luruh
berderai, Fatimah berharap agar sang maut memilih dirinya dan merenggut
nyawanya sebagai tebusan jiwa ayahandanya.
Tidak
lama kemudian Rasul saw membuka kedua matanya dan mulai memandang putri semata
wayang itu dengan penuh perhatian. Lantas beliau meminta kepadanya untuk
membacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Fatimah pun segera membacakan Al-Qur'an
dengan suara yang khusyuk.
Sementara
sang ayah hayut dalam kekhusukan mendengarkan kalimat-kalimat suci Al-Qur'an,
Fatimah pun memenuhi suasana rumah Nabi. Beliau ingin menghabiskan detik-detik
akhir hayatnya dalam keadaan mendengarkan suara putrinya yang telah menjaganya
dari usia yang masih kecil dan berada di samping ayahnya di saat dewasa.
Rasul
saw meninggalkan dunia dan ruhnya yang suci mi’raj ke langit.
Kepergian
Rasul saw merupakan musibah yang sangat besar bagi putrinya, sampai hatinya
tidak kuasa memikul besarnya beban musibah tersebut. Siang dan malam, beliau
selalu menangis. Fatimah as mendapat pukulan yang lebih berat lagi dari para
sahabat yang berebut kekuasaan dan kedudukan. Setelah mereka merampas tanah
Fadak dan berpura-pura bodoh terhadap hak suaminya dalam perkara khilafah
(kepemimpinan), Fatimah Az-Zahra’ as berupaya untuk mempertahankan haknya dan
merebutnya dengan keberanian yang luar biasa.
Imam
Ali as melihat bahwa perlawanan terhadap khalifah yang dilakukan Sayidah
Fatimah as secara terus menerus bisa menyebabkan negara terancam bahaya besar,
hingga dengan begitu seluruh perjuangan Rasul saw akan sirna, dan manusia akan
kembali ke dalam masa Jahiliyah. Ali as meminta istrinya yang mulia untuk menahan
diri dan bersabar demi menjaga risalah Islam yang suci.
Akhirnya,
Sayidah Fatimah as pun berdiam diri dengan menyimpan kemarahan dan mengingatkan
kaum muslimin akan sabda Nabi, “Kemarahannya adalah kemarahan Rasulullah, dan
kemarahan Rasulullah adalah kemarahan Allah SWT.” Sayidah Fatimah as diam dan
bersabar diri hingga beliau wafat. Bahkan beliau berwasiat agar dikuburkan di
tengah malam secara rahasia.
Kepergian
Putri Tercinta Rasul
Bagaikan
cahaya lilin yang menyala kemudian perlahan-lahan meredup. Demikianlah ihwal
Fatimah Az-Zahra’ as sepeninggal Rasul saw. Ia tidak kuasa lagi hidup lama
setelah ditinggal wafat oleh sang ayah tercinta. Kesedihan senantiasa muncul
setiap kali azan dikumandangkan, terlebih ketika sampai pada kalimat Asyhadu
anna Muhammadan Rasulullah.
Kerinduan
Sayidah Fatimah untuk segera bertemu dengan sang ayah semakin menyesakkan
dadanya. Bahkan kian lama, kesedihannya pun makin bertambah. Badannya terasa
lemah, tidak lagi sanggup menahan renjana jiwanya kepada ayah tercinta.Demikianlah
keadaan Sayidah Fatimah as saat meninggalkan dunia. Beliau tinggalkan Hasan
yang masih 7 tahun, Husain yang masih 6 tahun, Zainab yang masih 5 tahun, dan
Ummi Kultsum yang baru saja memasuki usia 3 tahun. Yang paling berat dalam
perpisahan ini, ia harus meninggalkan suami termulia, Ali as, pelindung ayahnya
dalam jihad dan teman hidupnya di segala medan.
Sayidah
Fatimah as memejamkan mata untuk selamanya setelah berwasiatkan kepada suaminya
akan anak-anaknya yang masih kecil. Beliau pun mewasiatkan kepada sang suami
agar menguburkannya secara rahasia. Hingga sekarang pun makam suci beliau masih
misterius. Dengan demikian terukirlah tanda tanya besar dalam sejarah tentang
dirinya. Fatimah Az-Zahra’ as senantiasa memberikan catatan kepada sejarah akan
penuntutan beliau atas hak-haknya yang telah dirampas. Sehingga umat Islam pun
kian bertanya-tanya terhadap rahasia dan kemisterian kuburan beliau.
Dengan
penuh kesedihan, Imam Ali as duduk di samping kuburannya, diiringi kegelapan
yang menyelimuti angkasa. Kemudian Imam as mengucapkan salam, “Salam sejahtera
bagimu duhai Rasulullah ... dariku dan dari putrimu yang kini berada di
sampingmu dan yang paling cepat datang menjumpaimu.
"Duhai
Rasulullah! Telah berkurang kesabaranku atas kepergian putrimu, dan telah
berkurang pula kekuatanku ... Putrimu akan mengabarkan kepadamu akan umatmu
yang telah menghancurkan hidupnya. Pertanyaan yang meliputinya dan keadaan yang
akan menjawab. Salam sejahtera untuk kalian berdua!”
Riwayat
Singkat Sayidah Fatimah as
Nama :
Fatimah.
Julukan : Az-Zahra’, Al-Batul, At-Thahirah.
Ayah : Muhammad.
Ibu : Khadijah binti Khuwailid.
Kelahiran
: Jumat 20 Jummadil Akhir.
Tempat : Makkah Al-Mukarramah.
Wafat : MadinahAl-Munawarah, Tahun 11 H.
Makam : Tidak diketahui.
Dunia
adalah perhiasan dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita yang solehah
Kisah
Cinta Sayyidina Ali dengan Siti Fatimah Azzahra
Ada
rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah.
Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu,
sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya.
Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik
darah dan kepala yang dilumur isi perut unta.
Ia
bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan
ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.Semuanya dilakukan dengan mata gerimis
dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan
demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju
Ka’bah.
Di sana, para pemuka Quraisy yang semula
saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam.
Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut
jalang itu kesempatan untuk menimpali.
‘Ali
tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika
suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki
yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang
membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman
dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
Ia
merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi
Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi
seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak
tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam
hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di
ranjangnya.
Lihatlah
juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan
saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman,
’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini
yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah
berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr;
Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang
dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih
bisa membahagiakan Fathimah.
’Ali
hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan dan cinta”,
gumam ’Ali.
”Aku
mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas
cintaku.”
Cinta
tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan.
Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.
Kemudian
Rasulullah saw. mendoakan keduanya:
“Semoga
Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian
berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan
yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4).
KISAH
SITI FATIMAH AZ ZAHRA
Rasulullah
SAW bersabda: "Fatimah adalah sebahagian daripadaku. Barangsiapa yang
membuat dia marah, akan membuat aku marah." Hadis Riwayat Bukhari
Lahirnya
Siti Fatimah Az Zahra r.a merupakan rahmat yang telah dilimpahkan Ilahi kepada
Nabi Muhammad SAW. Ia telah menjadi wadah suatu keturunan yang suci. Ia laksana
benih yang akan menumbuhkan pohon besar penyambung keturunan Rasulullah SAW. Ia
satu-satunya yang menjadi sumber keturunan paling mulia yang dikenali umat
Islam di seluruh dunia. Siti Fatimah Az Zahra r.a dilahirkan di Makkah, pada
hari Jumaat, 20 Jamadil Akhir, lebih kurang lima tahun sebelum Rasulullah SAW
di angkat menjadi Rasul.
Siti
Fatimah Az Zahra r.a membesar di bawah naungan wahyu Ilahi, di tengah kancah
pertarungan sengit antara Islam dan jahiliyah, di kala sedang hebatnya
perjuangan para perintis iman melawan penyembah berhala.
Ketika
masih kanak-kanak, Siti Fatimah Az Zahra r.a sudah mengalami penderitaan,
merasakan kehausan dan kelaparan. Dia berkenalan dengan pahit getirnya
perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan. Lebih dari tiga tahun, dia
bersama ayah bondanya hidup menderita dibuang daerah akibat pemboikotan
orang-orang kafir Quraisy terhadap keluarga Bani Hasyim.
Setelah
bebas penderitaan setelah 3 tahun diboikot, datang pula ujian berat atas diri
Siti Fatimah Az Zahra r.a, apabila wafatnya bonda tercinta, Siti Khadijah r.a.
Perasaan sedih selalu sahaja menyelubingi hidup sehari-harinya dengan putusnya
sumber kecintaan dan kasih sayang ibu.
Rasulullah
SAW sangat mencintai puterinya ini. Siti Fatimah Az Zahra r.a adalah puteri
bongsu yang paling disayang dan dikasihani junjungan kita Rasulullah SAW. Nabi
Muhammad SAW merasa tidak ada seorang pun di dunia, yang paling berkenan di
hati baginda dan yang paling dekat di sisinya selain puteri bungsunya itu.
Demikian
besar rasa cinta Rasulullah SAW kepada puteri bongsunya itu dibuktikan dengan
Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Menurut Hadis tersebut, Rasulullah SAW
berkata kepada Sayyidina Ali r.a demikian:
“Wahai
Ali, sesungguhnya Fatimah adalah bahagian dari aku. Dia adalah cahaya mataku
dan buah hatiku. Barang siapa menyusahkan dia, ia menyusahkan aku, dan siapa
yang menyenangkan dia, ia menyenangkan aku…”
Ketika
masih kanak-kanak, Siti Fatimah Az Zahra r.a menyaksikan sendiri ujian-uijian
getir yang dialami oleh ayah bundanya, baik berupa gangguan-gangguan, mahupun
penganiayaan-penganiayaan yang dilakukan orang-orang kafir Quraisy. Siti
Fatimah hidup di udara Makkah yang penuh dengan debu perlawanan orang-orang
kafir terhadap keluarga Nubuwah, keluarga yang menjadi pusat iman, hidayah dan
keutamaan.
Dia
menyaksikan keteguhan dan ketegasan orang-orang mukmin dalam perjuangan gagah
berani menghadapi komplot-komplot Quraisy. Suasana perjuangan itu membekas
sedalam-dalamnya pada jiwa Siti Fatimah Az Zahra r.a dan memainkan peranan
penting dalam pembentukan peribadinya, serta mempersiapkan kekuatan rohaniah
bagi menghadapi kesukaran-kesukaran di masa depan.
Setelah
ibunya wafat, Siti Fatimah Az Zahra r.a hidup bersama ayahandanyaa.
Satu-satunya orang yang paling dicintai. Dialah yang meringankan penderitaan
Rasulullah SAW ketika ditinggal wafat isteri baginda, Siti Khadijah. Pada suatu
hari Siti Fatimah Az Zahra r.a menyaksikan ayahnya pulang dengan kepala dan
tubuh penuh pasir, yang baru saja dilemparkan oleh orang-orang Quraisy, di saat
ayahandanya sedang sujud.
Dengan
hati remuk-redam laksana disayat sembilu, Siti Fatimah r.a segera membersihkan
kepala dan tubuh ayahandanya. Kemudian diambilnya air untuk mencucinya. Dia
menangis tersedu-sedu menyaksikan kekejaman orang-orang Quraisy terhadap
ayahnya.
Kesedihan
hati puterinya itu dirasakan benar oleh Nabi Muhammad SAW. Untuk menguatkan
hati puterinya dan meringankan rasa sedihnya, maka Nabi Muhammad SAW sambil
membelai-belai kepala puteri bungsunya itu, berkata, “Jangan menangis…, Allah
melindungi ayahmu dan akan memenangkannya dari musuh-musuh agama dan
risalah-Nya.”
Dengan
tutur kata penuh semangat itu, Rasulullah SAW menanamkan daya juang yang tinggi
ke dalam jiwa Siti Fatimah r.a dan sekaligus mengisinya dengan kesabaran,
ketabahan serta kepercayaan bahawa Islam akan menang. Meskipun orang-orang
sesat dan derhaka seperti kafir Quraisy itu sentiasa mengganggu dan melakukan
penganiayaan-penganiayaan, namun Nabi Muhammad SAW tetap melaksanakan tugas
risalahnya.
Sepeninggal
Rasulullah saw Siti Fathimah benar-benar sedih, beliau sangat terpukul dengan kemangkatan ayahnya itu .
Orang yang paling ia cintai, orang yang selalu menjenguknya dan membimbingnya
serta membantu memecahkan masalah apabila ada sesuatu yang terjadi.
Hal-hal itulah yang membuat Siti
Fathimah selalu dirundung kesedihan. Untung masih ada Imam Ali, sang suami yang
selalu menghibur dan menjaganya serta putra-putranya yang menjadi hiburan
baginya. Namun semua itu tidak dapat menghilangkan kesedihan yang ada padanya,
sehingga diterangkan oleh para Ahli Sejarah, bahwa sejak meninggalnya
Rasulullah saw, Siti Fathimah tidak pernah tertawa dan hanya sekali beliau
gembira tertawa, yaitu disaat Asma' binti Umais membuatkan keranda untuk
beliau.
Asma' binti Umais adalah orang yang
selalu membantu Siti Fathimah. Mereka seperti kakak beradik. Asma' binti Umais
adalah istri Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq dan dari perkawinan ini lahirlah
Muhammad bin Abu Bakar.
Perkawinan tersebut atas perintah
Rasulullah saw. Hal itu terjadi setelah suaminya yang pertama yaitu Ja'far bin
Abi Thalib meninggal dalam peperangan. Beliau Asma' termasuk orang-orang yang
masuk Islam pada awal permulaan Islam di Mekkah sebelum Muslimin berkumpul di
Dar'ul Arqom dan beliau kemudian bersama suaminya Ja'far bin Abi Thalib hijrah
ke Habasyah.
Setelah Khalifah Abu Bakar wafat,
Asma' binti Umais kawin dengan Imam Ali kw dan dikaruniai oleh Allah dua putra
yaitu Yahya dan Muhammad Al Ashhor. Ummul Mu'minin Maimunah istri Rasulullah
saw adalah saudara seibu dengan Asma' binti Umais. Oleh karena itu, hubungan
Asma' binti Umais dengan keluarga Rasulullah saw sangat dekat sekali. Beliau
sering membantu keluarga Rasulullah saw. Semoga Allah membalasnya serta meridhainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar